“Saya hanya paham sedikit, yang tahu banyak sejarahnya itu, kakak saya. Kini kakak saya itu tinggal di Ambon sekarang” Ungkap Dala ke rombongan kami.
Sebagian besar komunitas mata biru itu pindah ke daerah lain, Salah satunya ke wilayah Ambon. Hanya sedikit yang tersisa dan memilih menetap di Siompu, Saking tertutupnya, Dala menolak untuk diabadikan gambarnya.
Dari pengakuan Dala, Sejak abad 16 lalu sekitar awal tahun 1600-an, Pulau Siompu menjadi tempat persinggahan pelaut dari Eropa. Termasuk dari Portugis, jauh sebelum kedatangan Belanda di tanah air. Kala itu persahabatan antara warga Siompu dengan Portugis sangat dekat, Lalu tidak sedikit pemimpin Portugis mempersunting gadis gadis di Waindawula.
“Sebenarnya banyak yang kawin mawing (kawin silang) dengan pasukan Portugis ketika itu,. Keturunan mereka juga banyak bermata biru. Kalau tidak biru matanya, biasanya rambutnya yang berwarna pirang. Tapi yang tahu persis, itu kakak saya yang di Ambon itu cerita lengkapnya” kata Dala lagi.
Salah satu kisah hubungan Pemimpin Portugis dengan Masyarkat Siompu, Ketika Seorang Pemimpin Portugis menikahi Gadis Siompu bernama Waindawula. (yang belakangan diabadikan sebagai nama Desa di Kecamatan Siompu)
Waindawula adalah cucu dari La Laja, seorang bangsawan Wolio.
Keturunan La Laja lainya adalah La Ode Ntaru, La Kina Liya (Raja Liya) yang berkuasa 1928.
Adanya hubungan genetik antara Bangsa Portugis dan Siompu itu semakin terlihat, Pengakuan penulis artikel, saat berkunjung ke Benteng Liya (Wakatobi) Ia melihat perawakan La Ode Ntaru mirip orang Eropa, tapi diketurunanya di Wakatobi tidak terlihat yang bermata biru.
Pengakuan Dala (50) masih banyak yang mewarisi mata biru dikalangan masyarakat Sultra, hanya saja mereka banyak yang pindah, Ia masih enggan mengungkap berbagai rahasia yang tersimpan tentang keberadaan mata biru di Sultra.
Dari berbagai informasi yang dihimpun, Ras mata biru cukup tertutup bagi warga asing, tapi sudah banyak Bangsa Eropa yang datang melakukan penelitian di daerah ini.
Diketahui di Desa Waindawula, tersisa tiga rumpun yang masih mewariskan pigmen keturunan Prancis. Mereka hidup di desa ini sebagai petani. Kurang lebih 10 orang yang bermata biru, termasuk Dala dan anaknya. Sementara, keturunan lainnya, matanya tidak biru tapi rambutnya pirang dan kulitnya tetap putih.
Penduduk di Desa Waindawula sekitar 20 KK. Jarak rumah di desa ini saling berjauhan satu sama lain. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di kebun. (**)
(Disadur kembali dan disempurnakan dari catatan,
Arifuddin Mangka)